Dalam rangka menjagga kecukupan dan kualitas benih dan bibit perkebunan, telah diterbitkan beberapa peraturan dan perundangan untuk mengatur tentang perbenihan dan pembibitan seperti peraturan terbaru pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Budidaya Berkelanjutan (Bab V tentang Perbenihan dan Perbibitan Pasal 25-39) dan Keputusan Menteri Pertanian tentang Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman (sementara 33 komoditi) serta peraturan dan perundangan dan peraturan lainnya. Kebutuhan benih dan bibit tanaman perkebunan berasal dari peremajaan, rehabilitasi, dan ekstensifkasi yang berasal dari : APBN ( Dit Budidaya Ditjen BUN) dan Kementerian dan Lembaga lain, APBD ( APBD I dan II), Swasta, Swadaya ( petani, Poktan, Pekebun, Lembaga Masyarakat) dimana untuk mendapatkan benih/ bibit perlu menginformasikan dan menyampaikan kebutuhan benih T-1 ke Ditjenbun c.q Dirat Perbenihan Perkebunan.
Peran benih unggul bermutu bersertifikat sangat penting karena dapat mempengaruhi produksi usaha perkebunan untuk itu para pekebun sangat penting perlu mengetahui penggunaan benih/ bibit unggul bermutu bersertifikat agar tidak menyebabkan kerugian, baik waktu, tenaga, maupun biaya. Benih yang tidak bermutu akan menyebabkan produktivitas perkebunan rendah maka dari itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam mendorong penggunaan benih bermutu. Agar upaya penyediaan benih/ bibit berjalan baik, tepat waktu, tepat harga, tepat varietas, maka perlu dipetakan kembali lokasi sumber benih, lokasi produsen, dan pekebun dalam sebuah ekosistem bisnis.
Dalam rangka memfasilitasi peta dan pola penyediaan benih perkebunan non APBN Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mencetuskan dan segera melaunching program Bank Benih Perkebunan (BABE BUN) guna memperkuat pembangunan logistik benih komoditas perkebunan dalam negeri hingga mewujudkan akselerasi peningkatan produksi dan ekspor. Program terobosan ini berbasis kolaborasi, partisipasi dan solidaritas dengan stakeholder terkait, dimana pelaku usaha perkebunan untuk berpatisipasi secara aktif mengalokasikan keuntunganya untuk penyediaan benih. "BABE BUN” adalah sebuah wadah logistik benih perkebunan nasional yang tidak mengandalkan dan membebani APBN sementara kebutuhan benih/ bibit sangat besar, sangat tidak mungkin jika diwujudkan dari dana APBN sepenuhnya, sementara dana APBN terbatas. Sehingga penyediaan benihnya bersumber dari pelaku usaha perkebunan yang merupakan mitra Kementerian Pertanian diwajibkan untuk mengalokasikan sharing profit atau dari dana CSR yang nilainya tidak begitu berat, yakni 1 persen untuk kegiatan pembibitan sebagai stok benih yang dimiliki BaBe Bun. Hadirnya BaBe Bun ini pun mewajibkan setiap pelaku usaha mitra harus memiliki nursery perbenihan, sehingga tidak lagi mengandalkan APBN.
"BaBe Bun adalah terobosan untuk mencari sumber-sumber
pendanaan penyediaan benih nasional selain APBN seperti dana CSR, investasi
swasta, dana desa, pengembangan hutan kemasyarakatan, kegiatan reklamasi dan
sumber dana lainnya. Untuk membangun Babe Bun, Direktorat Jenderal Perkebunan
membangun harmoni dan sinkronisasi dengan para pelaku usaha. Pengembangan
perkebunan melalui perbaikan logistik perbenihan harus dilakukan dengan rencana
aksi pembangunan perkebunan yang sistematis terarah dan berkelanjutan dengan
mengajak dan membuka ruang selebar-lebarnya bagi pelaku usaha perkebunan,
perusahaan swasta maupun masyarakat luas yang ingin turut berkontribusi
membangun perkebunan melalui Babe Bun. Bank Perbenihan Perkebunan Mendukung
Perkebunan Partisipatif (PASTI) : PSR, CSR, KELEMBAGAAN, NURSERY, EKSPOR.
Informasi dalam Aplikasi BABEBUN di input oleh seorang
Admin Direktorat Perbenihan Perkebunan Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian: a.
Melakukan input data target penyediaan benih tanaman kakao dan kelapa melalui
pembiayaan non APBN; b. Informasi meliputi lokasi (Provinsi dan Kabupaten)
serta Luas tanaman tua/rusak/tidak menghasilkan, kebutuhan benih per ha; total
kebutuhan benih, potensi kebun sumber benih (sesuai hasil penetapan), potensi
produksi benih siap tanam; c. Informasi produsen benih kakao dan kelapa; d.
Informasi meliputi: nama produsen, alamat, ketersediaan benih (TW I, II, III
dan IV); e. Informasi satuan biaya peremajaan/rehabilitasi komoditas kelapa dan
kakao; f. Informasi rumah tangga penerima bantuan benih; dan g. Informasi
budidaya kelapa yang baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar